TALKIN' 'BOUT MY GENERATION, GENERASI NORAK DAN LEBAY

April 11, 2018



Tahukah kamu, generasi apa yang paling norak sepanjang sejarah negara ini berdiri? Betul sekali, itu generasi saya. Generasi yang tak pernah bosan berbusung dada membanding-bandingkan masa lalu dengan apa yang sedang dijalani generasi penerusnya.

Jaman sudah berbeda, Mas, Mbak. Biarlah keponakan dan anak-anakmu beradaptasi dengan dunia mereka sendiri secara alami tanpa paksaan. Kamu takut adik-adikmu terjebak dan salah gaul hanya gara-gara dunia maya? Segeralah ambil air wudhu, doakan yang terbaik bagi mereka. Setelah itu silakan bercermin selama 15 menit, perhatikan wajahmu baik-baik, sudahkah nampak kerutan di sana? Buka kembali memorimu, hitung berapa teman main yang sekarang karirnya sukses padahal dulu bangor ampun-ampunan.
Banyak sekali perkara yang dianggap cool oleh generasi saya, dan katanya lagi, itu cuma bertahan di era tersebut. Musik pun tak luput dibawa serta. Ketika membaca kolom komentar sebuah video klip lawas di Youtube, selain sepasang kaul garing macam “apa cuma gue yang …” dan “who’s still watching in (isi dengan tahun)?”, pasti akan disusul oleh kelengkapan “kangen masa-masa ini deh, musiknya masih bagus-bagus, nggak kaya jaman sekarang”.
Yang terhormat, Saudara dan Saudari sekalian, dari manakah Anda menyedot logika musik bagus itu cuma ada di satu era, di mana pada waktu itu, Anda sendiri bahkan belum mampu menyimpulkan ponten bagusnya—sekaligus argumen pengkultusan derajat yang menjauhkan lagu tersebut dari status hina—dari mana, woy? Mengelus dada saat mendapati anak SD bernyanyi “Akad” dan “Mau Dibawa Kemana”tapi dulu hafal luar dalam “Bukan Pujangga” dan “Pacarku”.
***
Saya tumbuh di masa kaset pita adalah satu-satunya rilisan fisik yang beredar di sekitar tempat tinggal. Pada laci bagian bawah lemari pakaian Emak tersimpan setumpuk album, mulai dari Trio Kwek-Kwek, Maissy, Nugie, Stinky, hingga—fak, seharusnya tidak saya sebutkan—Ricky Martin dan Westlife. Semuanya bercampur rapi dengan Nicky Astria, Vina Panduwinata, dan artis-artis lokal lain kesukaan beliau. Boro-boro berburu vinyl, CD (dan VCD) saja 90% merupakan produk bajakan. Mengenaskan, ya.
Ada kesenangan tersendiri menikmati musik melalui tape deck. Kita tidak perlu menunggu-nunggu lagu kesayangan diputar di radio, sambil rebahan membaca inlay sleeve-nya. Tapi ternyata saya tidak bisa berbagi euforia tersebut, karena tidak semua tetangga dan teman sekolah berminat membelanjakan sebagian uangnya untuk membeli kaset.
Dari Emak, kelak saya mendapatkan arti pentingnya memiliki rilisan fisik sebagai bentuk apresiasi terhadap musisi idola. Jadi, berbanggalah jika orangtuamu punya peninggalan musikal, apapun itu genrenya.
Tapi kebanggaan tersebut tidak serta merta mengendap permanen. Pertama kali saya menemukan sisi Emak yang kecewek-cewekan ya dari koleksi kasetnya, sebelum itu beliau lebih terlihat seperti petinju. Meskipun garang, Emak fasih melantunkan “Gelas-Gelas Kaca” dan “Hati yang Luka”. Untung masih tertolong nomor-nomor keren favoritnya, “Jarum Neraka” dan “Dunia yang Kudamba”.
Lain ladang lain belalang, lain petinju lain pula samsaknya (peran lain anak-anak Si Emak, yang harus siap menjadi sasaran jab-jab dan uppercut mematikan, saat dirasa kelakuannya sudah kelewat batas). Sedari kecil kami tidak dimanjakan dengan bermacam-macam jenis mainan. Saya dan adik saya lebih senang jika dibelikan kaset, walaupun tidak bisa dikatakan sering. Bisa seharian kami mengulang-ulang dari side A ke side B, kembali lagi ke side A dst. sambil berebut lembaran lirik. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang, saat melihat sebuah album fisik pasti saya harus membolak-balik isinya, bahkan mengendus membaui kertasnya jika perlu.
Enam tahun lalu, berawal dari kerinduan menyimak Nugie album Air, saya pernah terobsesi melengkapi trilogi yang pernah dirilisnya. Tapi hanya album Udara yang saya dapatkan di Bulletin Semarang. Sebenarnya pernah suatu ketika ada yang menjual album Bumi di lapak bekas di depan Stasiun Pasar Senen, namun sayang kondisinya sudah parah. Perburuan dihentikan dalam rentang setahun, saya menyerah.
Lain Nugie lain pula Stinky, tak berlaku treatment yang sama walaupun keduanya saya dengarkan. Dulu saya menganggap Stinky bagus karena enak didengarkan, sekali lagi, enak didengarkan. Tapi seiring waktu berjalan, timbullah degradasi atas pendapat tadi. Selain menyadari lagu-lagu mereka yang cheesy, tampilan sangar beberapa personil jomplang 180 derajat dengan lirik. Pantesan sang vokalis lebih sukses setelah banting stir menjadi pelawak.
***
Kecewa karena gagal melengkapi trilogi? Malu yang pernah diidolai ternyata jelek? Tidak, biasa wae. Masih banyak musik lain untuk dinikmati. Band-band baru bermunculan, karya-karya segar ditawarkan, bahkan tak akan cukup 24 jam sehari dengan memaksakan telinga melahap semuanya. Ambil saja yang benar-benar bagus sesuai kriteria. Bisa juga dengan mencoba rekomendasi rilisan anyar hasil review person/media terpercaya. Karena saya membuktikan dua langkah tersebut, dan memang menyenangkan menemukan nama-nama asing yang selalu mengejutkan.
Saya justru lebih iri kepada segelintir teman yang sejak kecil sudah mengkonsumsi band “anak gede” sebelum waktunya. Tapi sudahlah, toh tak ada kata terlambat belajar dan mengejarnya. Karena ini yang paling penting, selain meningkatkan eksperimen musikal, mendengarkan berbagai jenis aliran akan membuat kita tercerahkan oleh luasnya pengetahuan di luar musik itu sendiri.
Contohnya, topik industri kreatif nasional yang akhir-akhir ini marak dibicarakan, ternyata sudah didengungkan di Inggris sana jauh-jauh hari berikut catatan sejarahnya, berawal dari memutar Oasis dan Blur. Dari The Velvet Underground kita bisa menelusuri Andy Warhol dan berlanjut ke sejarah pop art, dari Björk menuju ke seputar dunia pagan, dari Symarip melompat ke film This is England dan budaya skinhead dan Jamaican music sekaligus.
Persediaan musik berlimpah ruah dan mudah diakses di internet menjembatani pengetahuan di bidang sosial, politik, dan agama. Tapi akan sulit diraih selagi mata kita tertutup judgement konyol bahwa musik bagus hanya bertahan di era-era tertentu. Musik sebagai identitas kebudayaan yang selalu dan akan terus berkembang, sudah pasti bergerak begitu dinamis. Jadi, bukan musiknya yang salah, pola pikirmu saja yang terlanjur mentok.
Yang biasa dinamakan “masa keemasan” memang selalu merujuk pada aktualisasi tren dan genre. Tapi tidak pada esensi sebuah musik secara general, musik yang utuh. Sekarang, coba bandingkan antara Efek Rumah Kaca dengan D.O.T. Sama-sama berasal dari Indonesia, keduanya memainkan musik pop, jumlah personilnya pun sama, lho. Tidak apples to apples? Ingat, siapa yang sejak awal menyamaratakan musik dulu selalu lebih bagus dari musik sekarang.
Bernostalgia memang menyenangkan, tapi tidak lantas harus menjadi lebay karenanya. Tidak ada lagi momen-momen membaca inlay kaset, ya googling liriknya. Pupus mengharap Dewa 19 kembali, ya cari saja band baru yang setara musikalitasnya. Jangan terpaku nama-nama besar yang terlampau overrated, jangan pula meragukan kualitas band-band independen Indonesia hari ini. Experience-nya akan berbeda? Ahelah, mau move on kok susah amat.
Jenuh menonton Anak Jalanan, ya tinggal matikan saja televisimu, semudah kamu memilih tidur daripada menemani orangtuamu menyelesaikan Tersanjung episode ke-1.024.687. Dulu pernah ada serial Keluarga Cemara yang mengisi sore harimu, kini beri kesempatan Adit Sopo Jarwo untuk menuntun adik-adikmu tentang falsafah hidup. Berhati-hatilah, siapa tahu mereka membanggakan generasinya di masa depan, karena itu pasti akan jauh lebih mengerikan.

You Might Also Like

0 comments