MENJADI ANAK BAND DI PURWOREJO (Part 2)

April 03, 2018



Purworejo dengan segala romantikanya, inilah yang sedang saya nikmati. Sementara gembar-gembor industri kreatif yang melibatkan anak muda di luar sana sudah berputar kencang, sementara di kota pensiunan ini, cetak birunya masih dirumuskan dengan hati-hati sekali.
Jujur saja, sekembalinya di rumah, ada banyak keprihatinan atas keadaan sosi... ah, maaf bercanda. Tiga tahun terakhir adalah proses adaptasi yang lumayan berat. Banyak ketertarikan yang tersendat dikarenakan saya belum menemukan teman yang bisa diajak berdebat seputar musik, film, buku, sosi... ah, maaf bercanda lagi, hehehe.
Gemas? Mungkin kita perlu menyimak lantunan Noel Gallagher dalam "Half the World Away”.
“I would like to leave this city. This old town don't smell too pretty and I can feel the warning signs running around my mind. And when I leave this island, I'll book myself into a soul asylum. 'Cause I can feel the warning signs running around my mind.
Here I go, I'm still scratching around in the same old hole. My body feels young but my mind is very old. So what do you say? You can't give me the dreams that are mine anyway. I've been lost, I've been found but I don't feel down.”
Jadilah apa yang tersedia di sini saya pahami satu persatu (selain meng-update  dunia saya sebelumnya, sendiri). Dari proses itu saya menemukan banyak hal baru, cukup menarik sebetulnya. Seperti musik, di Purworejo kamu tidak bisa seenaknya membuat gigs lewat dari adzan isya’ jika tidak mempunyai dana besar untuk mengurus perijinan.
Jika bandmu akan merilis album, perjuanganmu sangatlah berat. Karena hampir 80% proses pengerjaan harus kamu tangani sendiri. Apa yang kamu cari, produser rekaman yang mau diajak berunding mengarahkan musik yang hendak direkam? Label yang bersedia membantu memasarkan? Manajer yang bersedia membuatkan dan mengedarkan press release? Media partner yang siap bekerjasama mempromosikan karyamu sampai ke luar Purworejo?
Jangan harap.

image

Acara launching party EP/album penuh sudah ada. Dan memang, selalu ramai oleh anak-anak muda yang haus akan benbenan. Tiket habis? Iya. Karya laris? Nah, ini dia. Keterbatasan kuantitas duplikasi (terlebih dengungan embel-embel "indie", padahal terkendala dana cekak) terkadang masih belum dibarengi status “sold out” di akhir acara. Padahal penonton yang datang biasanya mencapai tiga hingga lima kali lipat jumlah copy yang tercetak.
Secara umum, infrastruktur pendukung kegiatan bermusik di Purworejo masihlah kurang. Praktis hanya tersedia studio untuk latihan dan rekaman. Event organizer yang berfokus di acara musik juga masih minim. Tidak ada radio yang mengakomodasi airplay band-band lokal. Record label dan record store apalagi, lha wong toko CD hanya memajang keping-keping bajakan band melayu yang sudah lewat jaman. Pentingnya manajemen di dalam sebuah band tidak pernah tersampaikan karena memang kekurangan sumber daya manusia.
Sampai kapan kita menunggu semua itu disediakan secara tiba-tiba di depan mata? Sepertinya mustahil, mengingat agenda besar pemerintah daerah belum menyasar ke ranah berkesenian yang lebih aktual. Satu-satunya yang bisa diandalkan tidak lain tidak bukan ya pelakunya sendiri, which is anak-anak muda yang mau berkomitmen penuh terhadap musik dan kegiatan benbenan.
***
image
Maka bersoraklah saya dalam hati, beberapa waktu yang lalu seorang teman bersedia menginisiasi sebuah forum yang mewadahi musisi lokal tanpa memandang genre. Di komunitas tersebut akan lebih lanjut membahas apa saja yang menjadi problematika anak band di Purworejo. Lebih serunya lagi, akan sering diadakan live perform dan jamming session antar musisi di dalamnya.
Respon positif didapat setelah nama “Paguyuban Musik Purworejo” terbentuk dan langsung tancap gas mengadakan acara Beautiful Benowo: Musik Sepoi-Sepoi tahun lalu. Tidak main-main, mereka mendapuk Gunung Kunir sebagai venue. For your information, tempat tersebut jauh dari keramaian kota dan belum pernah digunakan sebagai tempat panggung hiburan sebelumnya.
Singkat kata, helatan tersebut sukses membuka pandangan masyarakat terhadap para pegiat musik di kota kelahiran WR. Soepratman. Dan sudah seharusnya, teman-teman kita ini mendapatkan apresiasi yang lebih baik berkat pencapaian yang telah mereka buktikan.
Jika dalam waktu dekat mereka kembali mengadakan kegiatan-kegiatan bermusik lain (di samping benbenan)—seperti saresehan, workshop/coaching clinic, dan edukasi kesenian untuk masyarakat—apa yang akan kita siapkan untuk mendukung mereka? Ini bukti bahwa fungsi musik secara sosiologis telah melebar ke arah yang positif.

image
Anak-anak muda di Purworejo sudah mulai sadar pentingnya rasa, karsa, dan cipta demi kehidupan yang lebih baik. Mereka juga bersedia meluangkan waktunya untuk berkumpul dan mengakrabkan diri di dalam satu wadah. Bukan tidak mungkin percepatan pembangunan di kota ini semakin tersinergikan karena ide-ide kreatif mampu tersalurkan.

Di awal saya memaparkan keputusasaan karena keadaan terlalu santai. Ketika ada setitik api yang menggeliat, itulah yang kemudian dinamakan harapan. Selama ini memang belum saya buang, masih terlipat rapi di sela-sela tumpukan baju di lemari. Tiuplah jika kita menginginkan harapan tersebut semakin membara.
Keep on the right track, Paguyuban Musik Purworejo!

Photo credit: Rahmat Agung Riandoko (Alif Photography)

You Might Also Like

0 comments