MENJADI ANAK BAND DI PURWOREJO (Part 1)

April 02, 2018

Miris rasanya setiap kali mendengar cerita teman yang baru saja menyaksikan konser, entah intimate show di kafe kecil atau performance megah dari band luar negeri. Bukan iri karena melewatkan pertunjukan tersebut, tapi sedikit tidak terima dengan mereka yang mudah sekali mendapati ajang musikal di sekitar tempat tinggalnya. Bagi seorang yang hidup di kota kecil seperti saya, butuh perjuangan ekstra untuk melihat musisi-musisi favorit secara langsung. Terlebih skena musik di Purworejo hari ini bisa dibilang masih sepi panggung. Hal tersebut terbukti dari perbincangan dengan beberapa anak band di sini.
“Kondisinya berbeda. Dulu setiap festival band pelajar pasti ada 50-an grup yang mendaftar, sedangkan sekarang bahkan setengahnya pun tidak. Peminatnya berkurang. Dulu mudah sekali menemukan banyak band di dalam satu sekolah, sementara hari ini punya dua band saja sudah bagus,” cerita Pandu Kameswara yang menjadi seorang guru mata pelajaran seni musik di sebuah sekolah menengah kejuruan. Dari ratusan murid, hanya empat orang saja yang berhasil diampunya untuk kemudian dia bentuk menjadi band.
Pandu yang tergabung dalam grup band grindcore bernama Predator, sudah merilis dua mini album dan merasakan banyak pengalaman bermain live di berbagai kota. Selain itu, bersama teman-temannya se-almamater di Fakultas Seni Musik UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), dia pernah menyelenggarakan Oktoberirama, sebuah pertunjukan chamber orchestra di Gedung Kesenian Purworejo tahun lalu.
Saya bersama 500-an audience lain beruntung dapat menyaksikan orkestra yang pertama kalinya diselenggarakan di Purworejo, yeaiy! Pertunjukan ini mendapat sambutan meriah dari banyak kalangan, termasuk para beberapa tamu undangan dan pejabat setempat seperti Wakil Bupati Yuli Hastuti. Dalam sambutannya, beliau mengatakan bahwa acara tersebut bermanfaat di tengah-tengah era globalisasi yang berpotensi dapat mengikis moral pemuda bangsa dan budaya asli, seperti halnya minuman keras dan narkoba yang identik dengan kehidupan anak band.

image
Sepintas tidak ada permasalahan dari perkatan beliau, hanya saja agak membuat saya sedikit mengernyitkan dahi. Saya setuju, tapi tidak sepenuhnya. Menurutnya, para pemuda dituntut untuk lebih kreatif dan berkarya positif. Sampai di sini saya masih sependapat. Lantas kenapa selanjutnya harus menghubung-hubungkan anak band dengan miras dan obat-obatan terlarang?
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah SMA yang tempo hari membatasi siswanya dalam mengadakan pentas seni tahunan, dengan alasan mengganggu kegiatan belajar mengajar. Begitu juga dengan yang dialami panitia/EO (event organizer) sebuah konser lokal yang dipersulit ijin acaranya atas dalih keamanan.
Well, tampaknya ada yang perlu diluruskan. Sepertinya hingga detik ini pandangan tentang seni, seniman, dan berkesenian belum sepenuhnya lepas dari stigma lawas (1) seniman itu penampilannya urakan dan hidupnya tidak jelas, (2) anak band adalah pecandu alkohol dan narkotika, (3) ngeband akan merusak nilai rapormu, (4) setiap konser musik pasti rusuh, dll.
Duh, gusti….
Seluruh anggapan itu sebenarnya sah-sah saja saat sifatnya masih subyektif, tidak mengikat, dan debatable.
***image

Musik sendiri pada kodratnya adalah bagian dari seni, karya musik merupakan contoh produk budaya, dan kegiatan bermusik adalah salah satu bentuk kegiatan mengekspresikan diri yang sepatutnya kita respon. Apresiasi tersebut dapat berupa pujian atau kritik.
Namun sayang, stigma-stigma konservatif tadi tak ubahnya memandang sesuatu hanya dari satu sisi. Alih-alih mengkritisi, sifatnya tidak membangun; cenderung mengklaim musik sebagai sumber dari perilaku menyimpang serta tindak kriminalitas. Parahnya lagi, sepaket mitos tersebut mengakar kuat dari generasi ke generasi. Padahal, selama bertahun-tahun saya mengikuti perkembangan berita musik dalam negeri maupun internasional, tidak ada akibat yang membahayakan dari sebuah kegiatan benbenan.
Mari sejenak pause topik tadi dengan menengok sejarah.
Sejak dijajah Belanda, bangsa kita sudah mengkonsumsi minuman keras tradisional, setiap daerah di nusantara mempunyai jagoan masing-masing. Narkotika kala itu juga sudah beredar, namanya opium (madat). Walau dilarang pemerintah dan tidak sesuai dengan norma agama, praktik gelap penjualan alkohol dan peredaran narkotika di Indonesia masih marak terjadi hingga hari ini.

“Satu dari 20 orang Jawa mengisap candu,” tulis pakar Henri Louis Charles Te Mechelen pada tahun 1882.

Pertanyaan saya adalah, dari semua pemakai dan penjual narkoba, baik yang sudah tertangkap maupun masih berstatus sebagai incaran target operasi di Indonesia (dan di Purworejo), berapa persen yang berasal dari kalangan musisi?

image
Bukankah penyalahgunaan obat-obatan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa terkecuali. Apakah dengan melihat beberapa bukti pemberitaan pejabat yang tertangkap tangan sedang kedapatan nyabu di hotel, akan membuat semua kegiatan politik di kotanya harus dihentikan? Tentu tidak. Berarti logika yang sama boleh digunakan sebelum musik dikambinghitamkan, dong!
Prestasi seorang siswa sekolah tak akan terganggu hanya karena musik. Kali ini, korbannya adalah “musik keras” yang dianggap negatif dan merusak generasi muda. Padahal, seorang profesor di Inggris menunjukkan bahwa penggemar musik heavy-metal ternyata lebih pandai meredam emosi negatif, lebih ekspresif dan lebih bisa meluapkan kemarahan. Terbukti dari penelitiannya yang melibatkan 1.057 responden berumur 11 hingga 18 tahun itu, pendengar musik heavy metal cenderung berbakat dan pintar. Mereka umumnya menggunakan musik cadas untuk mengurangi tekanan dan rasa stres.
Pernyataan ini didukung fakta bahwa tidak sedikit musisi rock dengan tingkat intelijensi tinggi; seperti Bruce Dickinson (vokalis Iron Maiden, berprofesi sebagai novelis dan pilot penerbangan), Dexter Holland (vokalis The Offspring, bergelar Ph.D biologi molekuler), Brian May (gitaris Queen, bergelar Ph.D astrofisika), dan masih banyak lagi. Di Indonesia sendiri bisa dijumpai musisi yang berprofesi sebagai dosen, pengacara, pengusaha, aktivis sosial, hingga politisi.
Jadi, bukan musik yang membuat anak menjadi malas, melainkan ketidakmampuan dalam hal membagi waktu. Peran orangtua yang baik adalah menuntunnya menyusun skala prioritas tanpa menghambat hobi dan menyunat bakat yang dia miliki.
***image
Di Purworejo yang masih kental dengan mitos-mitos tadi, bukan perkara sulit untuk menemukan bukti ketidakberdayaan seni di sela-sela keseharian masyarakat. Atau awareness masyarakat sendiri yang belum mau memfokuskan pemberdayaan seni, bahkan sebatas hanya untuk kebutuhan tersier mereka.
Nah, satu lagi alasan yang sungguh konyol yang masih sering terjadi. Adalah prosesi potong memotong—bahkan memangkas—durasi benbenan di tengah jalan dengan alasan kerusuhan. Sekali lagi, ini konyol.
Ditilik lagi, yuk. Kerusuhan itu bisa terjadi kapanpun, terlebih dalam satu momen yang mempertemukan banyak kepala. Area konser musik memang berpotensi menimbulkan senggolan antar penonton saat menikmati lagu yang dimainkan. Tapi, sebenanya tak hanya di mulut panggung saja, kontak fisik dapat terjadi di manapun. Jalan raya, ruang publik, bahkan ruang sidang paripurna DPR pun, nyatanya pernah digunakan sebagai tempat perang urat saraf hingga adu otot.
Bagi saya, masih wajar di dalam sebuah moshpit yang dipenuhi dengan slamdance, pogo, dan stage diving sekalipun, selama mereka dapat menjaga diri masing-masing. Penonton yang sudah terbiasa akan mencari tempat yang lebih longgar jika mulai merasa tidak nyaman untuk kembali berjoget, atau tetap meneruskan sing along seolah-olah tak terjadi apa-apa meski baru saja bersenggolan. Wajar juga kalau ada person yang lebih mudah tersulut emosinya. Tapi percayalah, teman-teman di sekelilingnya pun pasti akan mencoba melerai apabila suasana yang tadinya fun kemudian mendadak berubah menjadi tegang.
Perilaku anak muda yang paham terhadap skena musik akan menyadari, bahwa sebuah konser digagas melalui rangkaian proses panjang nan rumit. Oleh karena itu, mereka pasti mengupayakan agar acara tetap berjalan lancar. Jika memang terjadi hal yang tidak diinginkan, musik akan langsung dihentikan sampai perkelahian segera diselesaikan. Atau dengan mempersilakan dan menyeret keduabelah pihak keluar dari venue.
“Bandku disuruh berhenti sebelum lagu terakhir karena ada penonton berantem. Padahal waktu itu anak-anak lain udah ngingetin. Ya begitulah, yang berantem cuma dua orang, tapi semua kena efeknya. Kita sendiri nggak pernah melihat (si pelaku) sebelumnya. Kayanya dia nggak pernah kelihatan (menonton) sebelumnya deh,” curhat seorang teman suatu ketika.

image
Baik panitia penyelenggara, band pengisi, hingga penonton, semuanya mengerti betul tentang hal ini. Mereka tidak akan begitu saja membiarkan acara yang ditunggu-tunggu diberhentikan di tengah-tengah rundown, hanya karena satu kerusuhan kecil. Inilah yang membedakan siapa yang memang datang untuk bersenang-senang dengan mereka yang sok jagoan.
Konser mampu mempertemukan sekelompok penggiat musik dengan para pendengarnya agar dapat menyalurkan ekspresi, bertatap muka, bertukar kegembiraan, serta saling memberi dan menerima energi positif.
Dengan menggagas kegiatan tersebut, sebenarnya ada banyak manfaat yang didapat: (1) melatih berorganisasi dan komunikasi, (2) mengembangkan gagasan ide/konsep, (3) bekerja sama dengan banyak pihak, (4) membiasakan disiplin menepati waktu, (5) mempromosikan apa yang sudah dibuat, (6) mengambil keputusan paling efektif, (7) meng-handle kemungkinan yang tak terduga, bahkan (8) dapat menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan.
Belum tentu praktik-praktik pelatihan tadi terpaparkan secara teoritis layaknya pelajaran formal di sekolah, lho.
Edukasi ihwal self-control terus didengungkan para pecinta musik yang menginginkan konser yang sehat. Termasuk di dalamnya menanamkan mindset sesederhana “gelut kuwi ndeso” atau “njoget rapopo asal ojo jotos-jotosan.” Niat baik ini seharusnya didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Tapi piye meneh jal, boro-boro mengeluarkan izin acara, lha wong orang tuanya saja masih ngeyel pada pendiriannya.
Ada hal yang perlu diluruskan dari dua persepsi yang tidak pernah bertemu ini, dan wajib kita sampaikan. Stigma-stigma usang tersebut kini sudah tidak berlaku lagi. Imajinasi tanpa dasar yang selama ini tertanam harus dipatahkan dengan bukti jelas dan argumentasi yang faktual. Mereka tidak merasakan eksternalisasi saat berada di posisi yang dituntut ini-itu, selamanya akan selalu merasa benar.

image
Dari internet saja kita dapat menyaksikan (1) kegigihan seorang Erix Soekamti yang penuh tato dan piercing di tubuhnya dapat merintis berdirinya sekolah animasi, (2) perjuangan musisi-musisi asal Bali yang melawan reklamasi Teluk Benoa demi terjaganya kelestarian lingkungan, (3) lirik dari band Efek Rumah Kaca tentang perlawanan aktivis HAM Munir Said Thalib, dan (4) kolektivitas artis-artis dalam penggalangan dana sosial untuk korban bencana alam.
Lalu apa kabar dunia nyata setelah kita berpaling dari layar? Apakah anggapan negatif tentang anak band sudah hilang?
Lihatlah, hari ini musik telah melampaui batasan-batasannya dan semakin menemukan fungsi sosial yang teramat sangat positif. Jika di luar sana telah terjadi banyak perubahan, mau sampai kapan kita terbelenggu paranoid semu yang hanya mengada-adakan yang tidak ada?
Globalisasi bukanlah momok yang menakutkan jika kita sanggup beradaptasi. Justru perkembangan teknologi dapat dimanfaatkan, termasuk untuk membuat Purworejo semakin berirama.
Beginilah potret anak muda yang selalu tertantang untuk terus berkreasi. Di zaman yang serba maju seperti sekarang, diam berarti menunggu ketertinggalan di hari esok. Saling membuka mata, saling memahami, dan mulai berjalan beriringan dapat menyelaraskan langkah demi masa depan. Jika memang selama ini ada banyak tiran menghalangi, mari bersama-sama kita bersihkan. Karena semakin kegiatan kami terasa menyenangkan, semakin tulus pula kami mengerjakannya.

Photo credit: Rahmat Agung Riandoko (Alif Photography)

You Might Also Like

0 comments