DAY 25: A SONG BY AN ARTIST NO LONGER LIVING

December 28, 2017

Jeff Buckley - Morning Theft

IMAGE SOURCE: morrisonhotelgallery.com
Tren ingin menjadi berbeda sering kita temui di kalangan milenial pecinta musik sidestream. Pun saya tidak pura-pura membantahnya. Apa sih bahasa kerennya, being a hipster? Yeah, but it was just a phase. Saya pernah mengalaminya. Toh, memaksakan diri seperti itu juga nggak rugi-rugi amat, masih ada manfaatnya.

Berkenalan dengan Jeff Buckley bukanlah perkara semudah mencari The Chainsmokers di search tab Google. Rujukan untuk menentukan awal perkenalan rata-rata sudah menjurus ke bahasan level advance. Jadi, selain menerjemahkan ke Bahasa Indonesia, kita juga harus mengerti arah dan perspektif si penulis yang tentunya menaruh subyektivitas berlebih atas dasar apresiasi.

Amini saja bahwa Jeff memang bukan musisi sembarangan. Musikalitasnya cukup untuk membungkam entry level hipster yang ingin menjadi guitar expert secara instan. Tanpa menguasai teori dasar bergitar terlebih dahulu, mampus kau dikoyak-koyak scale yang doi pake.

Bagaimana cara menggambarkannya? Nggg ... begini, Jeff diberi bonus wajah tampan, whatever you name it. Berani bertaruh, kamu akan semakin terpesona melihat dia tampil live di surga sana, karena di Youtube hanya tersebar sekelumit saja videonya. John Mayer, gitaris sekaligus solois pujaan kaum wanita (plus beberapa laki-laki yang malu mengidolakannya) adalah salah satu yang terinspirasi oleh Jeff Buckley. Walaupun lain warna musiknya, persona dan approach yang digunakan keduanya kurang lebih sama.

Jika John Mayer membagi segmentasi pendengarnya pada dua belahan kue yang berbeda, Jeff Buckley sama sekali tidak memedulikannya. Memang, mereka sama-sama memukau penonton dengan performance yang lebih liar dibanding lagu versi rekaman. Tapi sekali lagi, kamu tidak akan menjumpai album Jeff yang ramah telinga dan mampu membuat kaum hawa orgasme dalam sekali sentuh.

Penampilan panggung Jeff lebih banyak dijumpai di venue-venue kecil, walaupun pernah juga dia menjadi line-up di acara musik berskala besar. Satu konser terintim yang pernah dihasilkannya adalah Live at Sin-é (Legacy Edition), album ganda yang juga merupakan versi extended peringatan sepuluh tahun EP originalnya (dirilis pada 1993, dan hanya terdiri dari empat lagu). Direkam langsung dari sebuah gig kecil di Sin-é, sebuah kafe yang biasa dijadikan tempat band-band lokal New York mengawali karir.

Dia hanya tampil seorang diri bernyanyi (sambil memainkan gitar juga tentunya) beberapa repertoar dari Van Morrison, Billie Holiday, Led Zeppelin,dll. Plus lagu-lagu yang kelak akan dimasukan ke dalam album perdana, Grace: "Lover, You Should Come Over", "Mojo Pin", "Eternal Life", dan cover version dari Leonard Cohen yang sukses melambungkan namanya, "Hallelujah".

Sepasang cakram padat yang berisi total jenderal lebih dari 20 lagu, plus monolog pengantar di sela-selanya, mustahil akan membuat betah diputar ulang jika tidak yang istimewa di dalamnya. Ingat, dia tampil tanpa bantuan section player, lho. Lick-lick bernuansa rock, blues, dan folk mengalir lancar. Bahkan translate faham musikal sufism (Qawwali) turut dia mainkan dalam "Yeh Jo Halka Halka Suroor Hai", satu nomor gubahan Nusrat Fateh Ali Khan, yang ditahbiskannya sebagai idola layaknya Elvis Presley.

Jika musikalitasnya biasa-biasa saja, mana mungkin dia mendapat pengakuan dari kalangan kritikus dan musisi besar macam Chris Cornell, Coldplay, PJ Harvey, Pete Yorn, Badly Drown Boy, hingga Lana del Rey. Di Indonesia sendiri ada Cholil Mahmud dan Fadly Padi yang terang-terangan mengidolakannya. Progresi nada-nada gitar dan vokal Jeff berpengaruh terhadap sejumlah materi milik Efek Rumah Kaca.

Karakternya menyuarakan protes sosial yang tidak diledakkan secara gamblang, beberapa disertai pemikiran yang dingin. Ada pula sisi imajinatif tentang wanita yang tetap dibungkus secara elegan, tidak serampangan. All time favorite versi saya sendiri adalah "Morning Theft", ada di album Sketches for My Sweetheart the Drunk (dirilis 1998, setahun setelah kepergiannya).

Lagu tersebut dipercaya merujuk pada hubungan Jeff dengan Elizabeth "Liz" Fraser, vokalis Cocteau Twins. keduanya memiliki hubungan lebih dari sekadar teman. Lebih lanjut mengenai kedalaman liriknya, saya dapat mengintepretasikan ke masa-masa di mana saya sedang dilanda kebingungan untuk berkelit dari kenyataan, menggariskan antara berusaha jujur sekaligus naif terhadap perasaan. Dia melafalkan "...I miss my beautiful friend. I have to send it away to bring her back again" dengan sangat sempurna.

Komposisi materi tersebut teramat sulit bagi saya untuk dikulik transisi chord gitarnya sambil bernyanyi. Iya, saya pernah berusaha se-hipster itu dan gagal. Ngisin-isini tenan.


You Might Also Like

0 comments