DAY 22: A SONG THAT MOVES YOU FORWARD

December 23, 2017

Paramore - Hard Times

IMAGE SOURCE: bilboard.com
Di suatu malam yang selo, saya mendapati diri kebingungan mau mengerjakan apa lagi. Deadline sudah terselesaikan, to-do list sudah penuh dengan coret-coretan. All is done. Mau pulang sudah terlanjur malas, yowes piye meneh. Akhirnya saya iseng mencari bahan bacaan ringan di kantor. Alhasil, saya tarik Perahu Kertas karya Dewi "Dee" Lestari dari rak buku.

Iya, terasa lebih teenlit jika dibanding karya-karya Dee lainnya. Tidak banyak analogi dan perandai-andaian, tidak ada twist maju mundur, semuanya mengalir ringan, hanya berpindah setting lokasi. Perahu Kertas tandas dalam semalam. Lumayan seru mengikuti cerita Kugy "Karmachameleon" Alisa Nugroho. Mana mungkin karakter selucu itu ada di kehidupan nyata. Skip deh, skip.

Justru yang menarik bagi saya adalah Luhde. Kehadirannya tidak sekadar sebagai pemanis yang berlalu begitu saja. Di saat Keenan mengalami kebuntuan, gadis Bali itu datang menghidupkan kembali ide si tokoh utama yang lama hilang. Segera saya sisipkan kertas bookmark di sela-sela lembar percakapan mereka. Saya tidak lagi memedulikan lagi ending-nya. Sebelum menutup cover belakang dan mengembalikannya ke rak, halaman tersebut saya buka lagi.

“Kalau pelukis-pelukis di sini biasanya punya satu sumber inspirasi. Sepanjang hayatnya melukis, mereka akan melukis berdasarkan sumber yang sama. Tapi justru dengan begitu, mereka bisa mencapai tingkat penjiwaan paling tinggi."

Benar juga, bahwasanya Tuhan mempertemukan manusia dengan apa saja yang dijodohkannya. Penekanannya bukan pada Keenan adalah jodoh Kugy ataupun Luhde, tapi semacam pangkal neuron yang harus terstimulan oleh benda/keadaan yang tepat sebelum menempatkan diri di pole position. Tanpa buku catatan milik Kugy, Keenan kesulitan menemukan inspirasi untuk membuat lukisan baru. Begitupun Pak Wayan dan anak-anak asuh lainnya, mereka mempunyai doping masing-masing.

Ternyata keadaan tersebut tidak hanya sebatas teori dan benar-benar ada. Saya bertanya hal ini pada teman sekantor, dia juga mengamini. Teman saya seorang frontman band. Tiap membuat lagu baru, dialah yang mencari nada vokalnya. Notasi yang diinginkannya akan termudahkan berkat mengulik menggunakan gitar kesayangannya. Dia memang berjodoh, dia membutuhkan gitar tersebut.

Lalu, ingatan saya kembali ke masa-masa lima tahun saya menggeluti usaha online clothing (yang sejak 2014 sudah saya tinggalkan). Bersama lima orang teman mendirikan sebuah brand, dan berbagi jobdesc sesuai keahlian masing-masing. Kebetulan saya terpilih sebagai desainer dan admin media sosial. Dua minggu sekali brand tersebut me-launching produknya. Lumayan cepat perputarannya, karena memang kami dituntut seimbang dengan ritme produksi yang setiap bulannya tidak pernah berhenti. Pokoknya, jangan kasih kendor.

Ada tiga poin penting yang jadikan pedoman sebagai admin media sosial: greeting, update & product knowledge, serta customer service. Jika ketiganya berjalan lancar, saya tidak akan menemukan halangan berarti. Yang agak merepotkan dari medsos adalah adanya traffic hours, kita harus jeli memperhatikan jam-jam prime time di mana banyak konsumen yang sedang aktif berinteraksi melalui gadget mereka.

Berbeda dengan mendesain, lebih fleksibel dan dapat dikerjakan kapan saja. Tapi menjadi seorang desainer itu lebih dari sekadar urusan taste dan skill. Opportunity sebuah brand terletak pada kemampuan membaca peluang dan kondisi pasar. Desain apa yang sedang mempunyai demand tinggi, kemungkinan besar akan menjadi best seller. Dan desainer grafis sebagai ujung tombaknya, harus pandai mengeksekusi produk baru sebagai jawaban dari permintaan tersebut. Otomatis, mereka tetap harus menguasai update & product knowledge juga, minimal dua kali sebulan. Ribet, ya?

Nyatanya saya dan teman-teman cukup nyaman, fun, dan berjodoh dengan pola kerja seperti itu. Selain teamwork yang solid, masing-masing tentu punya treatment tersendiri terhadap jobdesc-nya. Entah menyusun ruang kerja hingga senyaman mungkin, meng-upgrade gear (PC) dan koneksi internet agar maksimal saat dipergunakan, menyiapkan playlist terbaik, hingga menimbun stok film-film dan "bahan penyegar" lainnya.

Saya sendiri, lebih menyukai bekerja di kamar kost yang tenang daripada di kantor. Jika memang tidak mendesak, jatah pekerjaan saya sebisa mungkin harus tuntas sebelum deadline. Karena sudah menjadi ritual bagi kami, detik-detik launching produk baru adalah acara berkumpul dengan berbagai topik obrolan. Mulai dari film, sepakbola, musik, hingga seputar kehidupan pribadi, lengkap dengan bir kalengan dan kopi cokelat dingin buatan sendiri. Kami sengaja menghindari membahas pekerjaan. Baiklah, kamu boleh iri membayangkan keseruan ini.

Bukan berarti saya tidak pernah mengalami tekanan. Selama seminggu proses mendesain, biasanya 2-3 hari terakhir adalah waktu yang paling efektif. Empat hari sebelumnya lebih banyak diisi aktivitas melamun memandangi monitor kosong. Kalau kamu menganggap hal ini membuang-buang waktu, lha memang kenyataannya seperti itu.

Apa yang membuat bohlam imajiner di depan kepala saya menyala terang? Jawabannya adalah Hayley Williams. Percaya atau tidak, saat playlist berganti memutar Paramore, apapun lagu/albumnya, banyak kebuntuan terpecahkan. Padahal dulu saya sempat mengejek habis-habisan teman yang mengklaim sebagai Parawhore (sebutan fans Paramore). Emo kid seperti mereka tidak sekeren band-band Inggris idola saya.

Kapan pertama kali mencoba, sampai diam-diam suka, saya lupa. Dan akhirnya harus saya akui, saya menjilat ludah sendiri. They are the only exception for me, tidak berlaku dengan band pop-punk seangkatan lainnya. Saya pernah mencoba lagu-lagu senada dengan Paramore (berikut kemiripan tema lagu, mood, tempo, dll.) sebagai teman deadline. Tapi hasilnya tetap nihil, tambah parah malah.

Kondisi kamar kost yang saya set sedemikian rupa juga memberi pengaruh terhadap kinerja. Di mana lagi saya bisa melepas pandang ketika butuh istirahat: dinding karpet ala studio musik, wewangian kesukaan, bookshelf sederhana dengan judul-judul favorit, hingga frame kayu besar di salah satu muka lengkap dengan koleksi kaset di dalamnya.

Kesatuan tersebut adalah paket komplet moodboster yang sekian lama tidak saya sadari. Pantas saja selepas berpindah kost hingga melepas pekerjaan yang saya bangun dari nol tadi, banyak perbedaan terjadi. Berbagai adaptasi di tempat baru sudah coba dilakukan, hasilnya? Bisa ditebak. Saya terlanjur kehilangan jodoh dan belum bisa menemukan diri yang baru.

Saya mencoba realistis dan tidak terus-terusan blaming for no reason, berusaha dalam keadaan apapun. Jika memang suasana sejuk beserta fasilitas kamar kost lama kini sudah tidak ada lagi, ya udah. Setidaknya saya masih menyimpan lagu-lagu band asal Tennessee ini. Saya dapat memutarnya saat kepala mulai membeku dan harus dicairkan sesegera mungkin.

Lagu yang saya pilih kali ini random, ya. Tak masalah kamu menyukai Paramore atau tidak, tapi jika kamu dapat bertemu dengan jodohmu setelah membaca tulisan ini, tolong beritahu saya. Itu akan sangat menyenangkan untuk didiskusikan.

You Might Also Like

0 comments