DAY 19: A SONG THAT MAKES YOU THINK ABOUT LIFE
December 19, 2017The Thermals - Returning to the Fold
IMAGE SOURCE: npr.org |
Ketika kita memikirkan hidup dan segala carut marut isinya, output apa yang akan kamu genggam sebagai pegangan baru? Seharusnya sih, ada turning point setelah merenung semalam suntuk. Apa saja kesalahan yang kita perbuat sebelumnya, seberapa jauh kita mampu berkompromi dan memaafkan diri sendiri, apa kompensasi yang wajib dipatuhi berikut sanksi saat kita kembali lalai, dan lain sebagainya.
Nek aku embuh....
Pernah suatu kali saya merasa putus asa, stuck karena pekerjaan tiada menjanjikan kepastian. Eh, enggak ding. Beberapa kali saya harus bermasalah dengan itu. Tiap kali pekerjaan tak lebih dari rutinitas menjemukan, selalu saja ada alasan untuk menunda deadline. Ditambah lagi karakter moody, amat sangat berbahaya karena mencerminkan ketidakprofesionalan seorang pekerja.
Bagi saya, keadaan tadi adalah ujung dari segalanya. Jobdesc menumpuk, deadline kacau, klien bermasalah, gaji turun tak tepat waktu, rekan kerja tidak kooperatif, apalagi yang perlu dipertahankan? Ini baru urusan profesi. Kamu mempunyai 24 jam yang harus dibagi agar tetap seimbang, dan idealnya porsi pekerjaanmu punya sepertiga (8 jam), tidak kurang tidak lebih.
Namun hati terdalam saya membantah logika bodong di atas. Jika pikiran mampu tercurah 100% untuk hal yang saya cintai (termasuk pekerjaan), sungguh tidak adil Tuhan memberi 24 jam saja seharinya. Selama iklim di tempat kerja dapat terjaga dan kondusif, saya tidak akan mempermasalahkan hal-hal remeh seperti jam kerja dan gaji.
Belum lagi perkara lain seperti keluarga, pertemanan, percintaan, blablabla.
Kamu lihat sendiri kan, betapa egoisnya saya. Ingin ini-itu, tapi saat mentok karepe dewe maunya menyalahkan yang lain. Lha piye meneh, setidaknya saya punya argumentasi untuk membela diri dan siap mengaku salah kalau memang terbukti salah. Satu yang menjadi prinsip hidup saya: totalitas lebih berharga daripada loyalitas. Silakan terjemahkan sendiri dari clue-clue yang saya cecer.
Lalu, apa yang terjadi ketika saya mentok dan tidak berani berkata-kata akibat perbuatan atau pikiran sendiri? Self blaming sudah pasti, tapi tidak akan lama durasinya. Saya percaya Tuhan adalah Sang Maha Rencana. Mungkin saja disebabkan level religius di bawah rata-rata, seringkali saya hanya sebatas mengingat tanpa mengamalkan poin-poin seperti yang sudah diajarkan guru agama.
Pathetic enough, huh? Oleh karena itu, saya perlu sindiran yang lebih dari sekadar peringatan atau larangan bernada tinggi (dipastikan tidak bakal mempan, sungguh). Dan sengaja karya dari musisi/band idola adalah yang paling tepat. Mereka punya kapabilitas untuk menyampaikan dengan cara elegan dan tepat sasaran, more than everyone else.
"I regret leaving my mind, I forgot I needed it to think, and maybe to keep me alive. Can't believe I got so far with a head so empty, but I still have eyes, wait for me. But I still have feet, wait for me.
I regret leaving it all. I forgot I needed God, like a big brother. And maybe when I die, I will die escaping, I will die returning to the fold."
Bayangkan lirik itu keluar dari band asal Oregon, Amerika yang beranggotakan tiga personel dengan masing-masing keunikan: vokalis/gitaris yang gemar mem-posting foto-foto random di Instagram, bassist cewek yang doyan pamer bulu ketiak, drummer yang hobi minum susu kotak di atas panggung. Sumpah kombinasi sempurna untuk membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama!
0 comments