DAY 18: A SONG FROM THE YEAR THAT YOU WERE BORN

December 18, 2017

Poison - Every Rose Has Its Thorn

IMAGE SOURCE: fthmb.tqn.com
Apa persamaan Johny Presto dengan Taylor Swift? Kami sama-sama mengabadikan angka tahun kelahiran (yang kebetulan serupa). Dia menjadikan rangkaian tersebut menjadi judul album, sementara saya menuliskannya untuk challenge di hari ke-18. Hampir tidak ada perbedaan di antara kami, sampai hari ini mencurahkan segalanya untuk hal yang dicintai. Selain itu? Kalau patokanmu hanya popularitas dan pencapaian ... ah, saya tidak mau bermain-main dengan takdir Tuhan.

Saya bukan seorang penggemar Taylor Swift, belum pernah berkenalan, apalagi jatuh cinta satu sama lain. Jadi tidak ada bahasan lanjutan, ya. Sesuai judul, saya akan membahas lagu apa yang sedang nge-hits 28 tahun lalu. Jadi, setengah dari tulisan ini adalah hasil study banding singkat saya di sini dan di sini.

Dari sekian banyak nominasi, ada beberapa dikaji ulang untuk dijadikan dua besar. Ini tidak main-main, lho. Demi keabsahan blog pribadi yang sudah .com, masa iya konten masih sembarangan. Kalau dari awal saya macak indies, bisa jadi sortiran jawaban challenge tidak jauh-jauh dari The Stone Roses ("She Bangs the Drums", "Fools Gold", "Made of Stone"), Morrissey ("The Last of the Famous International Playboys", "Interesting Drug"), New Order ("Round and Round"), Pixies ("Monkey Gone to Heaven"), Lightning Seeds ("Pure"), Electronic ("Getting Away with It"), atau Inspiral Carpets ("Move", "Joe").

Tapi lupakan saja, bosque. Hidup tidak perlu se-kitsch itu....

Finalis tersisa dari daftar coret adalah "Every Rose Has Its Thorn" (Poison) dan "The Look" (Roxette). Ternyata dua lagu tersebut lebih memorable di hidup saya. Jika fase macak indies saya dimulai dari akhir usia belasan, itu barulah sebentar. Tidak ada masa-masa "diperdengarkan Beatles oleh Bapak", atau "diracuni Oasis oleh Kakak" di hidup saya. Yo karang wong ndeso, ki lho.

Sedikit cerita, ketika kelas 2 SD dulu saya berbagi kamar dengan Mas Budi, sepupu yang selisih usianya hampir lima belas tahun di atas saya. Setiap Sabtu siang sepulang sekolah, pasti ada acara bersih-bersih kamar (karena hari Minggu biasanya kami sekeluarga besar berlibur, minimal makan siang di luar). Mas Budi, selain terampil menyetir mobil, selalu bersemangat saat beberes kamar. Playlist andalannya adalah Don't Bore Us - Get to the Chorus! - Roxette's Greatest Hits. Sampul kasetnya menarik perhatian saya: cewek berambut cepak, berkacamata dan berpose nyentrik di depan temannya yang kalem.

Dari track pembuka "June Afternoon", "Dressed for Success", "Joyride" sampai "Dangerous" tepat untuk membakar kalori, ber-air guitar menggunakan sapu sambil mengikuti tempo. Kala itu kami tidak pernah terpikirkan apa itu musik new wave, dari negara mana Roxette berasal, Mas Budi juga tidak tahu menahu. Dan "The Look" adalah lagu dengan reffrain simpel: pengulangan "she's got the look" dan duplikasi "lalalala" di beberapa part. Metode jitu membuat formulasi yang mudah dihafal.

Dan belasan tahun telah berlalu. Saya tidak sekamar lagi dengan Mas Budi, berpindah ke Semarang dan memulai fase hidup baru. Sebagai lulusan SMK yang baru diterima masuk ke sebuah perusahaan kecil pada akhir 2000-an, saya harus bisa hidup mandiri dari gaji yang pas-pasan. Sabtu malam tidak berbeda dengan malam-malam lainnya. Tetap harus ngirit, dan dapat sedikit terhibur karena besok libur kerja.

Tidak ada acara liburan keluarga seperti dulu. Saya hidup sebagai anak kost dan tak satupun kerabat tinggal di Semarang. Guna membunuh waktu, saya berteman dengan radio, yang setiap Malam Minggu selepas dini hari memutar musik-musik slow rock 80/90-an di salah satu saluran. Entah kenapa, ini termasuk sebuah perayaan bagi saya yang nyaman dengan rutinitas tersebut. Saya lebih memilih untuk menyendiri di kamar, atau pamit pulang awal saat berakhir pekan dengan teman-teman.


Akhir pekan tepat tengah malam di kamar kost adalah waktu paling tenang, minim gangguan kamar sebelah yang penghuninya kebanyakan pergi atau pulang kampung. Semuanya terasa sempurna, walau hanya sekadar melamun memejamkan mata, mendengarkan langit-langit kosong, atau membaui sisa-sisa hujan dari atas loteng. Untuk sejenak saya tidak membutuhkan bunyi-bunyian, volume radio pun harus di-set serendah mungkin.

Mungkin momen-momen itulah yang berjodoh dengan hela nafas Brett Michaels, alunan akustik gitar pembuka verse awal hingga fill-in drum yang perlahan masuk. Kesannya berbeda 180 derajat dari Poison yang pecicilan mengumbar gimmick-gimmick yang digunakan oleh hampir seluruh band hair/glam rock: sex, drugs, rock 'n roll. Mau sehebat apapun Poison, dari "Talk Dirty to Me", "Your Mama Don't Dance", hingga "Ride the Wind", tidaklah seberacun "Every Rose Has Its Thorn".

Hingga detik ini saya masih beranggapan musik slow rock hanya bisa dinikmati seusai detik terakhir di hari Sabtu.

Saya bergegas tidur setelah acara tersebut selesai dan berganti dengan kuis dini hari, yang terlihat sekali settingan-nya (tapi masih saja banyak yang percaya dengan iming-iming hadiah dan suara menggoda host ala-ala Mbak Yeyen).

Setiap fase kehidupan ada momen-momen yang mengharuskan kamu menangkap tiap detailnya. Jika perlu, pilihlah sebuah benda sebagai wujud semiotiknya. Banyak lagu dan musik yang berjasa mengingatkan saya kepada waktu-waktu tertentu. Dari situlah saya bersyukur dan menganggap musik adalah anugerah yang memudahkan saya memaknai hidup.

Saya dan dua lagu tadi sama-sama lahir di tahun 1989. Dan kami tidak langsung dipertemukan, seperti ikhwal jodoh yang bisa saja terjadi dari rencana besar alam semesta, yang biasa kita sebut dengan istilah "ketidaksengajaan". Saya percaya Tuhan memperjodohkan satu dari kita dengan banyak hal di dunia ini. Apabila tidak berjodoh, mana sudi saya bersusah-susah mengulas musik, yang notabene tak lebih dari bebunyian untuk dilafalkan/diperdengarkan saja. Berjodohlah kamu dengan sesuatu yang bisa kamu maknai, maka jodohmu akan selalu bermakna untuk menemani hidupmu.

Hidup akan terlalu dangkal jika barometernya cuma sebatas materi dan popularitas. Toh sepopuler-populernya Taylor Swift, dia tetap pernah merasakan patah hati dan tak bermakna. Tahukah kamu, siapa heartbreaker-nya yang paling keren? Betul, namanya John Mayer. And for sure, every John has his thorn too.

You Might Also Like

0 comments