DAY 16: ONE OF YOUR FAVORITE CLASSICAL SONGS

December 16, 2017

André Rieu - And The Waltz Goes On

IMAGE SOURCE: andrerieu.com
Seperti orang Indonesia kebanyakan, musik klasik bukanlah porsi dengar saya dalam keseharian. Dari proses digging musik baru hingga memasukkan ke dalam playlist, saya benar-benar buta. Belum lagi saat bertukar pikiran bersama teman yang berlatarbelakang pendidikan seni musik, saya juga lebih sering memposisikan sebagai pendengar.

Bukan berarti tidak sama sekali. Sekelumit nada-nada megah orkestra masih bisa saya terima. Dan saya sangat, sangat mengagumi kejeniusan komposer-komposer visioner yang fasih membayangkan bagaimana komposisinya nanti terbentuk, hanya dengan berbekal lembaran-lembaran kertas partitur. Bagaimana tidak jenius, sejak awal mereka mampu menakar porsi masing-masing personel yang jumlahnya subhanallah itu.

Inilah bentuk tertinggi pengabdian manusia yang mempertanggungjawabkan pemberian Tuhan. Cipta, rasa, dan karsa musikalnya dapat tertuang hingga membuat orang-orang awam seperti kita ternganga. Itulah kenapa musik klasik perlu diberi treatment khusus saat menikmati, entah saat kita mendengarkan rekaman atau menghadiri pertunjukan secara langsung.

Saya sempat membaca tentang perdebatan tentang keagungan pertunjukan musik klasik yang mulai tergeser karena penemuan alat perekam, seperti yang tertulis dalam buku Pias: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya karya Aris Setyawan. Eksklusivitas dan effort karya-karya komposer klasik akan berkurang setelah ditransfer ke dalam bentuk cakram rekaman.

Tapi tidak sepenuhnya bisa disalahkan, berkat arsip-arsip tersebut juga, kita dapat mempelajari sejarah musik dunia; berikut peran besarnya bagi peradaban. Kini, kita bisa menemukan musik klasik di manapun. Literatur fisik sampai internet adalah sumber ilmu yang bermanfaat. Seiring berjalan waktu, kontemporasi musik klasik juga bertransformasi ke dalam bentuk yang lebih pop.

Tidak perlu macak nerd untuk menyelami musik-musik "berat" ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menemukan potongan-potongannya pada scoring film, soundtrack iklan, dan layer-layer instrumen pemanis lagu modern. Komponen string, brass, hingga perkusi sudah jamak dijumpai.

Kelas 3 SMP, saya tertarik dengan jari-jari seorang Maksim Mrvica. Setelah sebulan menabung, kasetnya berhasil tertebus. Alhasil, nomor-nomor di album The Piano Player milik musisi Kroasia itu menjadi jembatan perkenalan saya dengan bentuk musik lain, selain format benbenan.

Rasa penasaran berlanjut mengantar saya untuk sok-sokan mulai menyimak karya-karya Mozart, Bach, dan Beethoven sekenanya. Tapi sayang, ternyata otak saya tidak sampai untuk membedakan masing-masing komposisi mereka lebih dalam. Namanya juga rakyat jelata, hahaha.

Praktis, tidak mungkin memfavoritkan dari sekian yangsatu pun, bahkantidak bisa saya cerna. Bisa jadi, challenge di hari ke-15 tidak mempunyai jawaban. Tapi jika memang diharuskan, akan dengan senang hati saya bisikkan sesuatu. Ssttt...sini, dekatkan lagi telingamu.

Kamu tahu Sir Anthony Hopkins, kan? Beliau terkenal dengan perannya sebagai Dr.Hannibal Lecter dalam film The Silence of the Lambs. Selain sebagai aktor, ternyata kakek kelahiran Wales ini juga mampu menggubah waltz berjudul "And The Waltz Goes On" yang dibawakan oleh André Rieu & His Johann Strauss Orchestra. Selain musiknya yang cukup membuai, emosi saya turut teraduk kala tatapan haru Anthony mengiringi komposisi ciptaannya dimainkan dan dipimpin oleh pemain biola asal Belanda. Outstanding.

Adapun kebenaran tentang mitos pendengar musik klasik dapat mencerdaskan otak manusia, saya tidak peduli. Tapi selalu tersemat kredit khusus terhadap pemain-pemainnya. Tanpa harus menyertakan suatu alasan, IMHO; pianis, violinis, hingga cellist di dalam orkestra selalu terlihat 10 kali lebih cantik dibanding instrumentalis wanita manapun. Eh, yang ini tidak penting, ya?


You Might Also Like

0 comments